BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Al-Qur’an
Pengertian
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam
yang utama. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Nabi
Muhammad SAW. Al-Qur’an dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT, sesuai dengan
firmannya sebagai berikut:
$¯RÎ)
ß`øtwU
$uZø9¨tR
tø.Ïe%!$#
$¯RÎ)ur
¼çms9
tbqÝàÏÿ»ptm:
ÇÒÈ
”Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (QS 15:9)
xsùr&
tbrã/ytFt
tb#uäöà)ø9$#
4 öqs9ur
tb%x.
ô`ÏB
ÏZÏã
Îöxî
«!$#
(#rßy`uqs9
ÏmÏù
$Zÿ»n=ÏF÷z$#
#ZÏW2
ÇÑËÈ
”Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an. Kalau sekiranya Al-Qur’an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di
dalamnya.” (QS 4:82)
Al-Qur’an menyajikan tingkat tertinggi
dari segi kehidupan manusia. Sangat mengaggumkan bukan saja bagi orang mukmin,
melainkan juga bagi orang-orang kafir. Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada
tanggal 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an). Wahyu yang perta kali turun tersebut
adalah Surat Alaq, ayat 1-5.
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
1. bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam[1589],
5. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
[1589]
Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.[1]
Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun
secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama
membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode
Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW
dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah.
Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung
selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Pembagian Surat Al-Qur’an (Makkiyah
dan Madaniyah)
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap
surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat
Mekkah) dan Madaniyah
(surat Madinah).
Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di
mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah
digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Surat yang turun di
Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan
dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di
Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya
(syari'ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,
sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.
Nama-nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat
yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu
sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
- Al-Kitab
QS(2:2),QS (44:2)
- Al-Furqan
(pembeda benar salah): QS(25:1)
- Adz-Dzikr
(pemberi peringatan): QS(15:9)
- Al-Mau'idhah
(pelajaran/nasihat): QS(10:57)
- Al-Hukm
(peraturan/hukum): QS(13:37)
- Al-Hikmah
(kebijaksanaan): QS(17:39)
- Asy-Syifa'
(obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
- Al-Huda
(petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
- At-Tanzil
(yang diturunkan): QS(26:192)
- Ar-Rahmat
(karunia): QS(27:77)
- Ar-Ruh (ruh):
QS(42:52)
- Al-Bayan
(penerang): QS(3:138)
- Al-Kalam
(ucapan/firman): QS(9:6)
- Al-Busyra
(kabar gembira): QS(16:102)
- An-Nur
(cahaya): QS(4:174)
- Al-Basha'ir
(pedoman): QS(45:20)
- Al-Balagh
(penyampaian/kabar) QS(14:52)
- Al-Qaul
(perkataan/ucapan) QS(28:51)[2]
Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi
menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz.
Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an
dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an
menjadi 7 bagian dengan
tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis
pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Pembagian surat-surat Al-Qur’an menurut
ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat
yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
- As
Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah,
Ali
Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf,
Al-An’aam,
Al
Maa-idah dan Yunus
- Al Miuun
(seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf,
Mu'min dan sebagainya
- Al Matsaani
(kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal,
Al-Hijr
dan sebagainya
- Al Mufashshal
(surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha,
Al-Ikhlas,
Al-Falaq,
An-Nas dan
sebagainya[3]
Sejarah
Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk
mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak. Dengan
demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga
umat Muslim
mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang
lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an
sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi
teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman
bin Affan.
Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup,
terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid
bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay
bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau
tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah
kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan
tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Khulafaur Rasyidin
a. Pada
masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang
mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang
signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat
khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat.
Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid
bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan
tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada
Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf
tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf
dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
b. Pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni
Utsman
bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang
disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah
berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil
kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang
Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut,
yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang
digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf
yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan
(dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya
perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan
Al-Qur'an. Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad
yang shahih:
“
|
Suwaid bin Ghaflah
berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman.
Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an
sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang
isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa
qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu
kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku
berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi
perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
|
”
|
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an,
keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati
oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah
untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid
bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair,
Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan
mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara
Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish
karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu
ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah
(mushaf al-Imam).[4]
Adab
terhadap Al-Qur'an
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh
Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas.
Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi
tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat
kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada
dalil yang menguatkannya.
1. Pendapat
pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an,
seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal
ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya
Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang
terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur
penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa
penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan
serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa
negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara
kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman
mati.
2. Pendapat
kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang
dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat
menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul
Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali
para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir
dari Ibnu
Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir
di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang
Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya
tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang
menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il
(subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak
ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni
dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” Yang dimaksud
oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali
orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda
Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[5]
Hubungan dengan kitab-kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang
dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran
Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap
kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi
doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab
tersebut:
- Bahwa
Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab
tersebut. QS(2:4)
- Bahwa
Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi
kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
- Bahwa
Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat
antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
- Bahwa
Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita
mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian
mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek
penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang
dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.[6]
Kandungan
Al-Qur’an, antara lain adalah:
1. Pokok-pokok keimanan (tauhid) kepada
Allah, keimanan kepada malaikat, rasul
rasul, kitab-kitab, hari akhir,
qodli-qodor, dan sebagainya.
2. Prinsip-prinsip syari’ah sebagai
dasar pijakan manusia dalam hidup agar tidak salah jalan dan tetap dalam
koridor yang benar bagaiman amenjalin hubungan kepada Allah (hablun
minallah, ibadah) dan (hablun minannas, mu’amalah).
3. Janji atau kabar gembira kepada yang
berbuat baik (basyir) dan ancaman siksa bagi yang berbuat dosa (nadzir).
4. Kisah-kisa sejarah, seperti kisah
para nabi, para kaum masyarakat terdahulu, baik yang berbuat benar maupun yang
durhaka kepada Tuhan.
5. Dasar-dasar dan isyarat-isyarat ilmu
pengetahuan: astronomi, fisika, kimia, ilmu hukum, ilmu bumi, ekonomi,
pertanian, kesehatan, teknologi, sastra, budaya, sosiologi, psikologi, dan
sebagainya.
Keutamaan Al-Qur’an
Keutamaan
Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah, antara lain:
- Sebaik-baik
orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan
mengajarkannya
- Orang-orang
yang mahir dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat-malaikat yang suci dan
mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan kurang fasih lidahnya berat
dan sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim).
- Sesungguhnya
Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah
tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
- Bacalah
Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur’an sebagai
penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).
Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an
Mengetahui isi
pokok-pokok ajaran Al-Qur’an sangat penting bagi umat Islam agar mengetahui
AL-Qur'an secara global. Kemudian, meneliti pokok ajaran Al-Qur’an tersebut,
sehingga dapat mengetahui secara menyeluruh isi-isi al-quran. Pendapat para
ulama diantaranya adalah sebagai berikut :
- tujuh
pokok-pokok al-quran , yaitu amr (perintah) , nahy
(larangan) , Wa'ad (janji) , wa'id (ancaman) , jadl
(perdebatan) , qashas (kisah-kisah), dan amtsal
(perumpamaan) . pendapat yang lain amr-nahy, halal-haram,
muhkam-mutasyabih, dan amsal.
- menurut
Muhammad Rasyid Ridha
bahwa al-quran diturunkan membawa lima hal yaitu : akidah, tauhid
, janji dan ancaman, ibadah dan jalan menuju
kemenangan.
- para
ahli menyimpulkan bahwa pokok-pokok ajaran al-quran ada tiga yaitu akidahh
akhlaq, dan ibadah
Fungsi Al-Qur’an
Setelah mengetahui pokok-pokok ajaran al-quran , selanjutnya
kita dapat memahami fungsi al-quran itu sendiri. Al-quran sebagai kitab syariat
terakhir yang diturunkan juga memiliki tujuan dan misi kehadirannya , antara
lain sebagai berikut :
- Sebagai
pedoman hidup manusia
Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Di
dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk serta pembela (antara
yang hak dan yang batil)
- Sebagai
pembenar dan penyempurna kitab-kitab terdahulu
dalam surah Ali imran ayat 3, Allah swt berfirman:
tA¨tR øn=tã |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷yt tAtRr&ur sp1uöqG9$# @ÅgUM}$#ur ÇÌÈ
"Dia menurunkan kitab (
al-quran ) kepadamu ( muhammad ) yang mengandung kebenaran, membenarkan (
kitab-kitab ) sebelumnya, dan menurunkan taurat dan injil."
- Sebagai
pembawa kabar gembira dan peringatan
Al-quran membawa berita gembira dan peringatan bagi
orang-orang yang mengingkarinya. Disamping itu al-quran menjelaskan
kriteria-kriteria golongan yang memperoleh berita gembira dan yang mendapatkan
ancaman dan peringatan , perahatikan ayat QS Ql-A'raf : 188
@è% Hw à7Î=øBr& ÓŤøÿuZÏ9 $YèøÿtR wur #
Ñ wÎ) $tB uä!$x© ª!$# 4 öqs9ur àMZä. ãNn=ôãr& |=øtóø9$# ßN÷sYò6tGó]w z`ÏB Îöyø9$# $tBur zÓÍ_¡¡tB âäþq¡9$# 4 ÷bÎ) O$tRr& wÎ) ÖÉtR ×ϱo0ur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sã ÇÊÑÑÈ
"katakanlah ( muhammad ), ; aku
tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudharat bagi dirimu kecuali
apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghoib, niscaya aku
akan membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku
hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang
beriman."
4. Sebagai sumber pokok ajaran islam
Al-quran merupakan sumber pokok
ajaran islam yang pertama. didalamnya terdapat keterangan-keterangan yang
dibutuhkan oleh manusia untuk mengolah alam jagat raya ini. bahkan, sumber
pokok tersebut tidak hanya mengantarkan manusia untuk bahagia didunia saja,
tetapi juga bahagia di akhirat.[7]
B. As-sunnah
Pengertian
Maksud
As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari
Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap
perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi
umat ini. Termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah
sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala
apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi
istilah ahli fikih (Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al
Ahkam karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan
wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi
Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu
Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman
Allah :
$uZ/u
ô]yèö/$#ur
öNÎgÏù
Zwqßu
öNåk÷]ÏiB
(#qè=÷Gt
öNÍkön=tæ
y7ÏG»t#uä
ÞOßgßJÏk=yèãur
|=»tGÅ3ø9$#
spyJõ3Ïtø:$#ur
öNÍkÏj.tãur
4 y7¨RÎ)
|MRr&
âÍyèø9$#
ÞOÅ3ysø9$#
ÇÊËÒÈ
“…dan supaya mengajarkan kepada
mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah
As-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah
dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan
oleh para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal.
24)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat
Diantara
pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa
As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman
Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran
dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan
mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat,
seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang
mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris)
dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada
Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah.
Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al
Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka
akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang
memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu menunjukkan
perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa As-Sunnah telah
tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang
benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah
wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan
merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal Ahkam
hal. 16)
Dalil-dalil yang Menunjukkan
Terpeliharanya As-Sunnah:
Pertama: Firman Allah: إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup
Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Sangat jelas dan tidak diragukan
lagi bahwa seluruh sabda Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu
dari Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
$tBur
ß,ÏÜZt
Ç`tã
#uqolù;$#
ÇÌÈ
“Dan tiadalah yang diucapkannya
(Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun
di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang
diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa
yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di
dalamnya As-Sunnah.
Segala apa
yang telah dijamin oleh Allah untuk dijaga, tidak akan punah dan tidak akan
terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit saja penyelewengan, niscaya
akan dijelaskan kebatilan penyelewengan tersebut sebagai konsekuensi dari
penjagaan Allah. Karena seandainya penyelewengan itu terjadi sementara tidak
ada penjelasan akan kebatilannya, hal itu menunjukkan ketidak akuratan firman
Allah yang telah menyebutkan jaminan penjagaan. Tentu saja yang seperti ini
tidak akan terbetik sedikitpun pada benak seorang muslim yang berakal sehat.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa
agama yang dibawa oleh Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang
bertanggung jawab menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir
kehidupan dunia ini ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam,
karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 16-17)
Kedua: Allah
menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan
syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada
seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad
sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at
selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh
manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah
suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah
syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at
Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin
keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi
fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Ketiga: Seorang yang
memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya
penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al
Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
(a) Perintah Nabi kepada para
sahabatnya agar menjalankan As-Sunnah.
(b) Semangat para sahabat dalam
menyampaikan As-Sunnah.
(c) Semangat
para ulama di setiap zaman dalam mengumpulkan As-Sunnah dan menelitinya sebelum
mereka menerimanya.
(d) Penelitian para ulama terhadap
para periwayat As-Sunnah.
(e)
Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.( Ilmu yang membahas penilaian para
ahli hadits terhadap para periwayat hadits, baik berkaitan dengan pujian maupun
celaan, Pen.)
(f) Dikumpulkannya hadits–hadits
yang cacat, lalu dibahas sebab-sebab cacatnya.
(g) Pembukuan hadits-hadits dan
pemisahan antara yang diterima dan yang ditolak.
(h) Pembukuan biografi para
periwayat hadits secara lengkap.[8]
Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan
haram menyelisihinya
Sudah
menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah
merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia,
baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan
hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan
As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di
akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala
ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits
(shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad
apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas
bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perintah Al-Qur`an agar berhukum
dengan As-Sunnah
Di dalam
Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan
As-Sunnah, diantaranya:
1.
Firman Allah :
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan
Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih
pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah
nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
2.
Firman Allah :
“Wahai
orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. 49:1)
3.
Firman Allah :
“Katakanlah,
‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32)
4.
Firman Allah :
“Dan taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46)
5.
Firman Allah :
“Barangsiapa
mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.”
(Q.S. An Nisa’: 13-14)
Hadits-hadits yang memerintahkan
agar mengikuti Nabi dalam segala hal diantaranya:
1.
Abu Hurairah mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda:
“Setiap
umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang enggan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya
Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa
mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang
enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
2.
Abu Rafi’ mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda :
“Sungguh,
akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang
apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia
berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami
ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu
Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209).
3.
Abu Hurairah mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda:
“Aku
tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan
keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan
tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah
telaga di surga).” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan
perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung
dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam
al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).[9]
Macam-macam As-Sunnah:
- ditinjau
dari bentuknya
- Fi’li
(perbuatan Nabi)
- Qauli
(perkataan Nabi)
- Taqriri
(persetujuan atau izin Nabi)
- ditinjau
dari segi jumlah orang-orang yang menyampaikannya
- Mutawir,
yaitu yang diriwayatkan oleh orang banyak
- Masyhur,
diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi tidak sampai (jumlahnya) kepada
derajat mutawir
- Ahad,
yang diriwayatkan oleh satu orang.
- Ditinjau
dari kualitasnya
- Shahih,
yaitu hadits yang sehat, benar, dan sah
- Hasan,
yaitu hadits yang baik, memenuhi syarat shahih, tetapi dari segi hafalan
pembawaannya yang kurang baik.
- Dhaif,
yaitu hadits yang lemah
- Maudhu’,
yaitu hadits yang palsu.
- Ditinjau
dari segi diterima atau tidaknya
- Maqbul,
yang diterima.
- Mardud,
yang ditolak.
Kedudukan As-Sunnah:
- Sunnah
adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an
- Orang
yang menyalahi Sunnah akan mendapat siksa (QS. Al-Mujadilah, 58: 5)
- Menjadikan
Sunnah sebagai sumber hukum adalah tanda orang yang beriman (QS. An-Nisa’,
4: 65)
Perbedaan Al-Qur’an dengan
As-Sunnah:
Segala
yang ditetapkan Al-Qur’an adalah absolut nilainya. Sedangkan yang ditetapkan
As-Sunnah tidak semuanya bernilai absolut. Ada yang bersigat absolut, ada yang
bersifat nisbi zhanni[10]
C. Ijtihad
Pengertian
Menurut Ahmad
bin Ali al-Mugri al-Fayumi menjelaskan bahwa Itihad secara bahasa adalah :
“Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian suatu
upaya sampai kepada ujung yang ditujunya”.
Menurut al-Qur’an, arti Ijtihad
dalam artian jahada terdapat di dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 38, surat
al-Nur ayat 53 dan surat Fathir ayat 42. Semua kata itu berarti pengerahan
segala kemampuan dam kekuatan (badzl al-wus’I wa al-thaqoh), atau juga berarti
berlebihan dalam besumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).
Menurut al-Sunnah, kata Ijtihad
terdapat sabda nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah
(yajtahid) pada sepuluh hari terakhir (bulan ramadhan).
Menurut para ulama pengertian Ijtihad secara bahasa mempunyai pendapat yang sama tetapi istilah yang meliputi hubungan Ijtihad dengan fiqih, Ijtihad dengan al-Qur’an, Ijtihad dengan al-Sunnah, dan Ijtihad dengan dalalah nash.
Menurut para ulama pengertian Ijtihad secara bahasa mempunyai pendapat yang sama tetapi istilah yang meliputi hubungan Ijtihad dengan fiqih, Ijtihad dengan al-Qur’an, Ijtihad dengan al-Sunnah, dan Ijtihad dengan dalalah nash.
Adapun ijtihad dalam keputusan
hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapan hukum, baik
yang berhubungan dengan teks undang-undang maupun dengan menginstinbatkan hukum
yang wajib ditetapkan ketika ada nash.
Jadi kesimpulan dari pengertian Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil – dalilnya.
Jadi kesimpulan dari pengertian Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil – dalilnya.
Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqoha
boleh melakukan Ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an.
Dasar hukum diperbolehkannya
melakukan ijtihad antara lain firman Allah Swt :
“ Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”
“ Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”
Dari ayat tersebut dapat
dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Masjidil Haram, apabila akan shalat
dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal
dan pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada. Dalam sebuah
hadits Nabi juga dijelaskan Mu’adz bin Jabal ketika diutus menjadi gubernur di
Yaman pernah berijtihad dalam memutuskan suatu perkara. Ketika itu Mu’adz
ditanya nabi Muhammad SAW :
“ Dengan apa engkau menjatuhakan
hukum ?” Mu’adz menjawab,” Dengan kitab Allah (al-Qur’an) jawab Mu’adz “
Rasulullah bertanya lagi “ Kalau engkau tidak dapat keterangan dari Al-Qur’an
?“ Saya menggalinya dari sunnah Rasul.” Rasulullah pun bertanya, “ Kalau
engakau tidak mendapati, keteranagna dalam sunnah Rasululloh SAW.?”Mu’adz
menjawab,” Saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa.
Rasulullah menepuk pundak Mu’adz bin Jabal menandakan persetujuannya.
Nabi Muhammad SAW.memberikan izin kepada orang yang hendak melakukan ijtihad, bahkan Nabi memberikan dorongan kepada mereka. alau ijtihad itu dilakukan tepat mengenai sasaran maka orang yang berijtihad mendapat dua pahala, apabila tidak dia mendapat satu pahala. Nabi Saw. Bersabda: ”Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencari kebenaran, maka ia mendapat dua pahala . Apabila ia berijtihad kemudian ia tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala ( HR. Bukhori dan Muslim )[11]
Nabi Muhammad SAW.memberikan izin kepada orang yang hendak melakukan ijtihad, bahkan Nabi memberikan dorongan kepada mereka. alau ijtihad itu dilakukan tepat mengenai sasaran maka orang yang berijtihad mendapat dua pahala, apabila tidak dia mendapat satu pahala. Nabi Saw. Bersabda: ”Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencari kebenaran, maka ia mendapat dua pahala . Apabila ia berijtihad kemudian ia tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala ( HR. Bukhori dan Muslim )[11]
Pembagian Hukum Ijtihad
Berdasarkan ayat dan hadits
tersebut, maka ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai berikut :
a.
Wajib ‘Ain , bagi seseorang yang ditanya tentang satu
peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa
tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b.
Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang
suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara mujtahid lain
selain dirinya.
c.
Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang
belum terjadi baik ditanyakan atau tidak .
Dr. Muhammad Madkur di dalam
kitabnya Manahiju al-Ijtihad Fi Al-Islam menjelaskan bahwa ijtihad dan
berijtihad hukumnya adalah wajib bagi yang telah mengetahui keahlian dan
memenuhi syarat-syarat ijtihad.
Kedudukan dan fungsi Ijtihad
Kedudukan
ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah.
Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang
dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
a.
Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan
hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera
ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan
hilang .
b.
Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu
daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak
mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan
akan terlepas dari waktu yang ditentukan.
c.
Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan
kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka
untuk ini diperlukan ijtihad.
Macam-macam Ijtihad
Secara garis besar ijtihad
dibagi kedalam dua bagian, yaitu ijtihad Fardhi dan Jami’i.
a. Ijtihad
fardhi adalah : ”Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa
orang, namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam
suatu perkara ( Tasyri’ Islami: 115). Ijtihad yang semacam inilah yang pernah
dibenarkan oleh Rasul kepada Mu’adz ketika Rasul mengutus beliau untuk menjadi
qodhi di Yaman.
b. Ijtihad
Jami’i adalah : ”Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua
mujtahidin.” ( Ushulu Tasyri’ :116 ). Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh
hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang
suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketika itu Nabi bersabda : ”Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk
memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan
diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang
seorang.” ( H.R. Ibnu Abdil Barr ). Disamping itu, Umar bin Khatab juga
pernah berkata kepada Syuraikh : ”Dan bermusyawarahlah ( bertukar pikiran ) dengan
orang-orang yang saleh.”
Tingkat kekuatan Ijtihad
Al-‘Allamah
Abdullah Darraz mengatakan bahwa : “Ijtihad adalah menghabiskan seluruh
kemampuan dan memeberikan segala kekuatan pikiran. Hal itu dilaksanakan untuk
memperoleh hukum syar’i dan menerapkannya yakni menetapkan hukum yang telah
ditetapkan atas tiap-tiap kaidah, seperti menetapkan kaidah segala yang tidak
dilarang syara’. Ijtihad ( memperoleh hukum ) hanya dapat dilaksanakan oleh
ulama – ulama yang mempunyai keahlian yang sempurna dalam urusan ijtihad.
Ijtihad mentatbiqkan hukum dan seluruh orang yang memiliki ilmu yang sudah
dalam tentu dapat mengerjakannya. Dan disepakati bahwa ijtihad ini tiada putus
– putusnya sepanjang zaman.”
Ringkasnya ijtihad itu ada dua
tingkatan :
a. Ijtihad Darakil Ahkam (
menghasilkan hukum yang belum ada )
b. Ijtihad Tatbiqil Ahkam ( menerapkan hukum atau kaidah atas tempat yang menerimanya)[12]
b. Ijtihad Tatbiqil Ahkam ( menerapkan hukum atau kaidah atas tempat yang menerimanya)[12]
BAB III
PENUTUP
Puji syukur ke
Hadirat Allah Swt. yang telah memberikan segala kenikmatan baik nikmat Iman
maupun Islam dan sehat wal’afiyat sehingga kami dapat meyelesaikan penyusunan
makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda
alam, yakni Nabi Muhammad Saw. beserta
keluarga-Nya , sahabat-Nya, dan kita sebagai umat-Nya. Kami sebagai penyusun makalah
ini mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaiknnya makalah ini, terutama kepada dosen mata kuliah Bpk. Supandi
yang telah memberikan sebagian ilmunya untuk penyusunan makalah ini.
Kesimpulannya kita sebagai umat muslim
harus senantiasa betaqwa kepada Allah SWT dan selalu menyandarkan hidup ini
pada aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
demi dapat menggapai kehidupan yang bahagia dunia dan akherat.
Kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan menjadi amal shaleh bagi seluruhnya. Amin.
[1] Data
Publikasi : Islam Agama Universal (Edisi Revisi),
MIDADA RAHMA PRESS, Februari 2009, hlm.131-150
[3] Rahman, A.,
(2007), Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap
Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.),
Bandung: Penerbit Mizania, ISBN
979-8394-43-7
[4] Al-A'zami,
M.M., (2005), Sejarah Teks Al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi,
(terj.), Jakarta: Gema Insani Press, ISBN
979-561-937-3.
[6] Faridl, Miftah dan Syihabudin,
Agus—Al-Qur’an, Sumber Hukum Islam yang
Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
[7] Shihab,
Muhammad Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an
Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
[8]
Al-Hadits
Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
[9] Al-Madkhal
li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr.
Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
[10] Data
Publikasi : Islam Agama Universal (Edisi Revisi),
MIDADA RAHMA PRESS, Februari 2009, hlm.131-150
[12] Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan
H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
DAFTAR PUSTAKA
Data Publikasi : Islam
Agama Universal (Edisi Revisi), MIDADA RAHMA PRESS, Februari 2009,
hlm.131-150
al-Qattan,
Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
Rahman, A.,
(2007), Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap
Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.),
Bandung: Penerbit Mizania, ISBN
979-8394-43-7
Al-A'zami, M.M., (2005), Sejarah
Teks Al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.), Jakarta: Gema Insani
Press, ISBN
979-561-937-3.
Faridl,
Miftah dan Syihabudin, Agus—Al-Qur’an, Sumber
Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
Shihab, Muhammad Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
Al-Hadits
Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
Al-Madkhal
li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr.
Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
Data Publikasi : Islam
Agama Universal (Edisi Revisi), MIDADA RAHMA PRESS, Februari 2009,
hlm.131-150
asalnudi.wordpress.com/2010/.../ijtihad-sebagai-sumber-ajaran-islam/
Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al
Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar