Kebijakan
Ekonomi yang Diterapkan Oleh Pemerintahan Semenjak Era Reformasi
Pemerintahan Transisi
Krisis
finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya
ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto
saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan
Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang
kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun
meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam
maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari
jabatannya.
Pemerintahan
transisi merupakan peralihan antara pemerintahan zaman Soeharto ke pemerintahan
B.J. Habibie.
Keadaan
sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik
sebagai berikut:
- Kegoncangan
terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp.
2.500 menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah
menjadi tidak stabil.
- Krisis
rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisis ekonomi yang
kemudian memunculkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
- Pada
awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan
reformasi. Namun, ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya, sehingga kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai
masa transisi karena KKN semakin menjadi, banyak kerusuhan.
Pemerintahan Reformasi
Pada
masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga
kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun,
terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
1. Masa Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada
awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan
dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional
dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde
baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi
manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam
politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa
pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu,
Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi.
Di
bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih
berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya,
terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket
naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi
di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan
independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk
menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
- Melakukan
restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
- Melikuidasi
beberapa bank yang bermasalah
- Menaikkan
nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
- Membentuk
lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
- Mengimplementasikan
reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
- Mengesahkan
UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang
Tidak Sehat
- Mengesahkan
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pemerintahan
presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
Kebijakan- kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie:
1. Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan
Dibentuk tanggal 22
Mei 1998, dengan jumlah menteri 16 orang yang merupakan perwakilan dari Golkar,
PPP, dan PDI.
2. Mengadakan reformasi dalam bidang politik
Habibie berusaha
menciptakan politik yang transparan, mengadakan pemilu yang bebas, rahasia,
jujur, adil, membebaskan tahanan politik, dan mencabut larangan berdirinya
Serikat Buruh Independen.
3. Kebebasan menyampaikan pendapat.
Kebebasan menyampaikan pendapat diberikan asal tetap
berpedoman pada aturan yang ada yaitu UU No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum.
4. Refomasi dalam bidang hukum
Target reformasinya yaitu subtansi hukum, aparatur
penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan instansi peradilan yang independen.
Pada masa orde baru, hukum hanya berlaku pada rakyat kecil saja dan penguasa
kebal hukum sehingga sulit bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan keadilan
bila berhubungan dengan penguasa.
5. Mengatasi masalah
dwifungsi ABRI
Jendral TNI Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan
reposisi secara bertahap sesuai dengan tuntutan masyarakat, secara bertahap
akan mundur dari area politik dan akan memusatkan perhatian pada pertahanan
negara. Anggota yang masih menduduki jabatan birokrasi diperintahkan untuk memilih
kembali kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk berkarier di sipil. Dari
hal tersebut, keanggotaan ABRI dalam DPR/MPR makin berkurang dan akhirnya
ditiadakan.
6. Mengadakan sidang istimewa
Sidang tanggal 10-13 November 1998 yang diadakan MPR berhasil
menetapkan 12 ketetapan.
7. Mengadakan pemilu tahun 1999
Pelaksanaan pemilu dilakukan dengan asas LUBER (langsung,
bebas, rahasia) dan JURDIL (jujur dan adil).
Masalah yang ada:
Ditolaknya pertanggung jawaban Presiden Habibie yang
disampaikan pada sidang umum MPR tahun1999 sehingga beliau merasa bahwa
kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden lagi sangat kecil dan
kemudian dirinya tidak mencalonkan diri pada pemilu yang dilaksanakan.
2. Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam
hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir
mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI)
juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai
stabil.
Akan
tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat
tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan
ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden
cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif,
bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan
reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi
tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga
menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya
adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan
II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari
jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada
bulan Agustus 2001.
Selama
pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa
disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik
Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh
semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi
perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain
itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999
mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut
kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang
terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan
IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda
perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu,
Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara
donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi
perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus
membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar
akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam
akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah
Indonesia macet.
Ketidakstabilan
politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman
Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan
memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat
pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan
kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi
perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk
daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s
Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk
Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun
karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya
(seperti Standard & Poors) menurunkan prospek jangka panjang
Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau
kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi
Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya,
bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang
sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi
hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung
menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya
terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi
fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga.
Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens,
termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang
hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan
hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil
perekonomian negara saat ini.
Fenomena
makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8
Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam perkataan
lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang
disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian
dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak
percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian
Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator
kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat
terhadap pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS. Pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan
pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal
kejatuhan rupiah, menembus level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan
penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan
intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui
bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden
dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar
rupiah semakin merosot.
Pada
bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh
Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah
dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif
terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan,
bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi,
sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak
negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia
masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan
pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua,
utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta
maupun pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator
lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan
cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar
dolar AS menjadi 28,875 milyar dolar AS.
Rangkuman
keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman
Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah
pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju
inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam
negeri juga sudah mulai stabil.
- Hubungan
pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik,
yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai
bank Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam
uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
- Politik
dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing
menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
- Makin
rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300
poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan
pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada
masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat
skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Kebijakan-kebijakan pada masa Gus Dur:
1.
Meneruskan
kehidupan yang demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan kebebasan
berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama,
memperbolehkan kembali penyelenggaraan budaya tiong hua).
2.
Merestrukturisasi
lembaga pemerintahan seperti menghapus departemen yang dianggapnya tidak
efesien (menghilangkan departemen penerangan dan sosial untuk mengurangi
pengeluaran anggaran, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi Nasional).
3.
Ingin
memanfaatkan jabatannya sebagai Panglima Tertinggi dalam militer dengan
mencopot Kapolri yang tidak sejalan dengan keinginan Gus Dur.
Masalah yang
ada:
1. Gus
Dur tidak mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI-Polri.
2. Masalah dana non-budgeter Bulog dan Bruneigate yang
dipermasalahkan oleh anggota DPR.
3. Dekrit Gus Dur tanggal 22 Juli 2001 yang berisikan
pembaharuan DPR dan MPR serta pembubaran Golkar. Hal tersebut tidak mendapat
dukungan dari TNI, Polri dan partai politik serta masyarakat sehingga dekrit tersebut
malah mempercepat kejatuhannya. Dan sidang istimewa 23 Juli 2001 menuntutnya
diturunkan dari jabatan.
3. Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
- Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris
Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3
triliun.
- Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun
kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi
dijual ke perusahaan asing.
Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Meski
ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah
yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak
menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain:
1.
Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
2.
Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing.
3.
Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Kebijakan-kebijakan lain pada masa Megawati:
1. Memilih dan Menetapkan
Ditempuh
dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga persatuan dan
kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang mengakibatkan
kepercayaan dunia internasional berkurang.
2. Membangun tatanan politik yang baru
Diwujudkan
dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan dan kedudukan MPR/DPR, dan pemilihan
presiden dan wapres.
3. Menjaga keutuhan NKRI
Setiap
usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh, Ambon,
Papua, Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa lepasnya
Timor Timur dari RI.
4. Melanjutkan amandemen UUD 1945
Dilakukan
agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
5. Meluruskan otonomi daerah
Keluarnya
UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang
pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan
terhadap daerah-daerah.
4. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I (Era SBY- JK) =
(2004-2009)
kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi
subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini
dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan
kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat
miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya
menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Kebijakan-kebijakan lain yang dilakukan pada masa SBY:
ü Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari
keseluruhan APBN.
ü Konversi minyak tanah ke gas.
ü Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB.
ü Buy back saham BUMN
ü Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil.
ü Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di
Indonesia.
ü Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan
“Visit Indonesia 2008″.
ü Pemberian bibit unggul pada petani.
ü Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi).
Masalah yang ada:
1) Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat
memperihatinkan karena tidak tampak strategi yang bisa membuat perekonomian
Indonesia kembali bergairah. Angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi.
2) Penanganan bencana alam yang datang bertubi-tubi berjalan
lambat dan sangat tidak profesional. Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak
diundang dan terjadi begitu cepat sehingga korban kematian dan materi tidak
terhindarkan. Satu-satunya unit pemerintah yang tampak efisien adalah Badan Sar
Nasional yang saat inipun terlihat kedodoran karena sumber daya yang terbatas.
Sementara itu, pembentukan komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar biasa.
3) Masalah kepemimpinan SBY dan JK yang sangat
memperihatinkan. SBY yang ‘sok’ kalem dan berwibawa dikhawatirkan berhati
pengecut dan selalu cari aman, sedangkan JK yang sok profesional dikhawatirkan
penuh tipu muslihat dan agenda kepentingan kelompok. Rakyat Indonesia sudah
melihat dan memahami hal tersebut. Selain itu, ketidakkompakan anggota kabinet
menjadi nilai negatif yang besar.
4) Masalah politik dan keamanan cukup stabil dan tampak
konsolidasi demokrasi dan keberhasilan pilkada Aceh menjadi catatan prestasi.
Namun, potensi demokrasi ini belum menghasilkan sistem yang pro-rakyat dan
mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia. Tetapi malah mengubah arah
demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk kekuatan kelompok.
5) Masalah korupsi. Mulai dari dasar hukumnya sampai proses
peradilan, terjadi perdebatan yang semakin mempersulit pembersihan Republik
Indonesia dari koruptor-koruptor perampok kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya
pernyataan JK yang menganggap upaya pemberantasan korupsi mulai terasa
menghambat pembangunan.
6) Masalah politik luar negeri. Indonesia terjebak dalam
politk luar negeri ‘Pahlawan Kesiangan’. Dalam kasus Nuklir Korea Utara dan
dalam kasus-kasus di Timur Tengah, utusan khusus tidak melakukan apa-apa. Indonesia
juga sangat sulit bergerak diantara kepentingan Arab Saudi dan Iran. Selain
itu, ikut serta dalam masalah Irak jelas merupakan dikte Amerika Serikat yang
diamini oleh korps Deplu. Juga desakan peranan Indonesia dalam urusan dalam
negeri Myanmar akan semakin menyulitkan Indonesia di masa mendatang.
Singkatnya, Indonesia bukan lagi negara yang bebas dan aktif karena lebih
condong ke Amerika Serikat.
7) Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi
seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka
diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri
kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk
kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa
di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini
disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan
ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di
SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif.
Selain
itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang
dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri
dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang
ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal
ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit
perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan
dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya
investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif.
Namun,
selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa
keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak
tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada
tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi
SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan
dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan
dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya,
hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun
waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang
mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas
dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat
yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang
tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa
jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui
langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia
sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS
14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS
4,0-4,5 triliun.
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II (Era SBY–BOEDIONO) =
(2009-2014)
Pada
periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat
kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
- BI
rate
- Nilai
tukar
- Operasi
moneter
- Kebijakan
makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu
lintas modal.
Dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Hampir
tujuh tahun sudah ekonomi Indonesia di tangan kepemimpinan Presiden SBY dan
selama itu pula perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa
keemasannya. Beberapa pengamat ekonomi bahkan berpendapat kekuatan ekonomi
Indonesia sekarang pantas disejajarkan dengan 4 raksasa kekuatan baru
perekonomian dunia yang terkenal dengan nama BIRC (Brazil, Rusia, India, dan
China).
Krisis
global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan
perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika
Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang
positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Gemilangnya
fondasi perekonomian Indonesia direspon dunia internasional dengan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara pilihan tempat berinvestasi. Dua efeknya
yang sangat terasa adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor
tertingginya sepanjang sejarah dengan berhasil menembus angka 3.800. Bahkan
banyak pengamat yang meramalkan sampai akhir tahun ini IHSG akan mampu menembus
level 4000.
Indonesia
saat ini menjadi ekonomi nomor 17 terbesar di dunia. “Tujuan kami adalah untuk
menduduki 10 besar. Kami sangat optimistis karena IMF pun memprediksi ekonomi
Indonesia akan mengalahkan Australia dalam waktu kurang dari satu dekade ke
depan,” tutur SBY dalam sebuah acara.
Kesimpulan
Pada
masa reformasi ini perekonomian Indonesia ditandai dengan adanya krisis
moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang sampai saat ini belum
menunjukkan tanda-tanda ke arah pemulihan. Walaupun ada pertumbuhan ekonomi
sekitar 6% untuk tahun 1997 dan 5,5% untuk tahun 1998 dimana inflasi sudah diperhitungkan
namun laju inflasi masih cukup tinggi yaitu sekitar 100%. Pada tahun 1998
hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan negatif, hal ini berbeda dengan
kondisi ekonomi tahun 1999.
Namun
sejak masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, perekonomian Indonesia mulai
membaik. Perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa
keemasannya. Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan
ketangguhan perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti
Amerika Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak
pertumbuhan yang positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Pembangunan
di era Reformasi ini merupakan suatu bentuk perbaikan di segala bidang sehingga
belum menemukan suatu arah yang jelas. Pembangunan masih tarik-menarik mana
yang harus didahulukan. Namun setidaknya reformasi telah membawa Indonesia
untuk menjadi lebih baik dalam merubah nasibnya tanpa harus semakin terjerumus
dalam kebobrokan moral manusia-manusia sebelumnya.
Referensi ;
Dr.
Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001.
http://beritadaerah.com/journal/success/21941
http://id.wikipedia.org/wiki/Bacharuddin_Jusuf_Habibie
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1998-sekarang)
http://kupastuntasmanajemen.blogspot.com/2009/10/perekonomian-indonesia-di-era-reformasi.html
http://putrimarchela.blogspot.com/2011/03/sejarah-ekonomi-indonesia-sejak-orde.html
https://syafaatmuhari.wordpress.com/2011/08/13/sejarah-perekonomian-indonesia-sejak-orde-lama-hingga-reformasi/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/sejarah-ekonomi-indonesia-orde-lama-era-reformasi-2
http://rinahistory.blog.friendster.com/2008/11/indonesia-masa-orde-baru/
http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto
DR. MOHAMMAD ABDUL MUKHYI, SE.,
MM, FAKULTAS EKONOMI, UNIVERSITAS GUNADARMA, JAKARTA slide pdf
Drs.
T. Gilarso(1991).Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Makro.Yogyakarta:
Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar